WADI'AH (DEFINISI, SYARAT, RUKUN & MACAMNYA)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Latar belakang penulisan makalah ini, yaitu dengan banyak melihat fenomena yang ada sekitar kita dimana salah satunya yang akan kami bahas dalam makalah ini, yaitu penitipan barang (wadi’ah). Seiring dengan bermunculannya lembaga-lembaga penitipan barang dapat sedikit membantu ketika seorang ingin menitipkan barangnya dalam waktu yang cukup lama, mereka tidak khawatir dengan keadaan keadaan barang yang ditinggalkannya itu, sebab dalam lembaga tersebut telah menjamin akan keaslian barangnya. Namun dengan sedikit mengeluarkan biaya.
Kita lihat di masyarakat sangatlah tidak  asing lagi dalam hal penitipan barang, atau menitipkan sebuah barang kepada orang lain.  Seseorang berani menitipkan barang kepada orang lain hanya yang biasa di kenal saja, sungguh belum tentu seorang yang kita kenal tersebut bisa menjaga barang kita dengan baik, bisa saja terjadi kelalaian atau kerusakan ketika barang yang dititipkan tersebut dipakai oleh seorang yang diberikan amanah tersebut, dengan alasan yang banyak dan dengan kedekatannya seorang penitip kepada seorang yang diberikan amanah, kemudian seorang yang diberi amanah tersebut menipu, ketika terjadi kerusakan pada barang yang dititipkan kepadanya. Dengan alasan apapun bisa di terima si penitip karena si penitip yakin bahwa orang yang  dikenal dan dekat denganya tidak mungkin melakukan penipuan terhadap dirinya.   
Hal ini yang sering dilalaikan oleh seorang yang diberikan amanah, menganggap barang yang dititipkan tersebut adalah barang yang bisa dipakainya juga. Ternyata tidak seperti itu, seorang yang diberikan amanah hanya berhak menjaga barang yang di titipkan kepadanya. dan ketika si penitip memperbolehkannya atau memberikan izin memakai barang yang dititipkan tersebut. Barulah seorang yang diberikan amanah tersebut memakainya dengan ketentuan selalu menjaga, memperbaiki ketika terjadi kerusakan, dan mengatakan dengan sebenarnya kepada si penitip ketika barang akan diserahkan kembali kepada si penitip. Jangan sekali-kali mengharap apapun, baik upah menjaga, dan upah-upah lainnya kepada si penitip dan menjagalah dengan baik dan ikhlas. Karena belum tentu serang yang menitipkannya tersebut orang yang memiliki cukup uang untuk mengganti jasa tersebut. dan kepada seorang yang menitipkan barang kepada orang lain hendaklah sadar akan jasa orang yang rela riberikan amanah tersebut.
Oleh karena itu, fenomena yang demikian perlulah diperhatikan oleh seorang yang diberikan amanah dan pemberi amanah. Mempelajari apa yang harus di kerjakan ketika seorang diberikan atau memberikan barang titipan(wadi’ah) kepada orang lain. Memilih jalan yang lebih aman dengan menitipkan barang pada lembaga-lembaga penitipan barang yang ada di sekitar kita.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa permasalah yang akan di bahas pada bab pembahasan di belakang diantaranya yaitu:
a.       Apa definisi wadi’ah dan dasar hukumnya?
b.      Apakah syarat dan rukun wadi’ah?
c.       Berapakah macam-macam wadi’ah?
d.      Apakah Hukum Menerima Benda titipan (wadi’ah)?
e.       Apakah wadiah yad-amanah dapat berubah menjadi wadiah yad-damannah?
f.       Bagaimana dengan pendapat para ulama’ mengenai pengambilan laba dalam wadiah?
g.      Bagaiaman dengan pendapat para ulama’ dengan adanya jaminan wadi’ah?

C.    Tujuan
Rumusan masalah diatas memberikan penulis pemikiran bahwa tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
a.       Agar mengetahu  definisi  wadi’ah dan dasar hukumnya.
b.      Agar mengetahui syarat dan rukun wadi’ah.
c.       Agar mengetahui macam-macam wadi’ah.
d.      Agar mengetahui hokum menerima benda titipan (wadi’ah).
e.       Agar mengetahui perubahan wadi’ah yad-amanah menjadi wadiah yad-dhamanah.
f.       Agar memperjelas pendapat para ulama mengenai pengambilan laba dalam wadi’ah.
g.      Agar mengetahui pendapat para ulama’ adanya jaminan wadi’ah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wadi’ah
Barang titipan dalam bahasa fiqh dikenal dengan sebutan wadi’ah, menurut bahasa wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga (Ma Wudi’a ‘Inda Ghair Malikihi Layahfadzuhu), berarti bahwa wadi’ah ialah memberikan, makna yang kedua wadi’ah dari segi bahasa adalah menerima, seperti seseorang berkata: “awda’tubu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (Qabiltu minhu dzalika al-Mal Liyakuna Wadi’ah ‘Indi), secara bahasa wadi’ah memiliki 2 makna, aykni memeberikan harta untuk dijaga dan pada penerimaannya.[1]
Dalam tradisi islam, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hokum, yang harus dijaga dan dukembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.[2]
Wadi’ah menurut pasal 20 ayat 17 komplikasi Hukum Ekonomi Syari’ah (2009) ialah penitipan dana antara pihak pemilik dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Aplikasi wadi’ah terhadap dalam fatwa DSN-MUI No.36/DSN-MUI/X/2002 tentang sertifikat wadi’ah Bank Indonesia.[3]
a. Secara Etimologi
Secara etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan (amana) Coba kita lihat di beberapa surat dalam alqur’an  Allah memaknakan wadi’ah dengan amanah.
b. Secara Terminologi
Secara terminology atau definisi istilah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fikih.[4]
Ulama mazhab hanafi mendefinisikannya:
لة دلا و أ صريحا ماله حفظ على الغير تسليط
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan uangkapan yang jelas maupun melalui isyarat”.
Umpama seraoang mengatakan: “saya titpkan tas saya ini pada anda”. Lalu dijawab “saya terima”. Dengan demikian, sempurnalah akad wadi’ah. Mungkin juga dengan cara: “saya titipak tas saya ini pada anda” tetapi orang yang dititipi diam saja (tanda setuju).
Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali (jumhur ulama) mendefinisikannya:
مخصوص وجه على مملوك حفظ في كيل تو
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harata tertentu dengan cara tertentu”.
Menurut istilah wadi’ah dapat diartikan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik.
Di dalam ensiklopedi hukum islam mengenai wadi’ah secara bahasa  bias dimaknai meninggalkan atau meletakkan, yaitu meninggalkan atau meletakkan sesuatu kepada orang lain untuk menjaganya dengan baik. Sedangkan menurut istilah ialah memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada orang lain untuk menjaga barangnya dengan cara terang-tengan kepada si pemilik barang tersebut. Setelah diketahui definisi wadi’ah dari beberapa ulama’, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud wadi’ah adalah penitipan, yaiti akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.[5]
Selain itu dalam melakukan transaksi penitipan harta, hendaknya melakukan penetapan jenis titipan. Memilih orang yang dapat dipercaya saat penitipan sehingga orang tersebut dapat lebih amanah ataukah melakukan perjanjian disepakati yang mewajibkan bagi keduanya untuk saling bertakwa dengan jalan tidak saling merugikan. Hal ini dijelaskan pada QS. Al-Imran ayat 75.[6]

B.     Dalil tentang Wadi’ah

1.  Keharusan menjaga wadi’ah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
خَانَكَ مَنْ تَخُنْ وَلاَ ائْتَمَنَكَ مَنِ إِلَى الأَمَانَةَ أَدِّ
"Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' 5/381).
الأَمَانَةَ أَدِّ = Tunaikanlah amanah
Maksudnya orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik dan mengandung nilai ibadah yang mendapat pahala disamping mempunyai nilai sosial yang tinggi. Akan tepai agar titipan tersebut tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari, maka disyaratkan :
a)    Barang titipan itu tidak memberatkan dirinya maupun keluarganya
b)   Tidak memungut biaya pemeliharaan
c)    Kalau sudah sampai waktunya diambil atau disampaikan kepada yang berhak
Dengan demikian apabila barang titipan itu mengalami kerusakan akibat kelalaian orang yang menerimanya, maka ia wajib menggantikannya.
تَخُنْ وَلاَ = Dan janganlah kamu mengkhianati
Adapun kriteria kelalaian antara lain:
a)  Orang yang dipercaya titipan menyerahakan kepada orang lain tanpa sepengetahuan yang memilikinya
b)   Barang titipan itu dipergunakan atau dibawa pergi sehingga rusak atau hilang
c)   Menyia-nyiakan barang titipan
d)   Berkhianat, yaitu ketika barang titipan diminta tidak dikabulkan, tanpa sebab yang jelas
e)   Lalai atau tidak hati-hati dalam memelihara barang titipan
f)  Ketika yang dititipi barang itu sakit atau meninggal tidak berwasiat kepada ahli warisnya atau keluarganya tentang barang titipan, sehingga mengakibatkan barang rusak dan hilang.
Hukum menerima wadi’ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu :[7]
a)      Sunnah, yaitu bagi orang yang percaya pada dirinya bahwa dia sanggup memelihara dan menjaganya, menerimanya bila disertai niat yang tulus ikhlas kepada Allah.
Dianjurkan menerima wadii’ah, karena ada pahala yang besar di sana, berdasarkan hadits:
أَخِيه عَوْنِ فِى الْعَبْدُ كَانَ مَا الْعَبْدِ عَوْنِ فِى وَاللَّهُ
“Dan Allah akan menolong seorang hamba, jika hamba itu mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
b)      Wajib, yaitu apabila sudah tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, kecuali hanya dia satu-satunya
c)      Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana mestinya, karena seolah-olah dia membiarkan pintu kerusakan atau hilangnya barang titipan.
d)     Makruh, menitipkan kepada orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya pada dirinya, bahkan dikhawatirkan kemudian hari dia akan berkhianat terhadap barang titipan itu.

2.  Menanggung barang titipan
Muuda' (orang yang dititipi) tidaklah menanggung barang titipan kecuali jika dia meremehkan atau melakukan jinayat (berindak salah) terhadap barang titipan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni. 
ضَمَانٌ المُغِلِّ غَيْرِ الْمُسْتَوْدَعِ عَلَى سَلَيْ
"Bagi orang yang dititipi yang bukan pengkhianat tidaklah menanggung."[8]              
Amr bin Syu'aib juga meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْهِ فَلاَضَمَانَ وَدِيْعَةً أُوْدِعَ مَنْ
"Barangsiapa yang dititipkan wadii'ah, maka dia tidaklah menanggungnya." (HR. Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Daruquthni disebutkan:
مُؤْتَمَنٍ عَلَى ضَمَانَ لاَ
"Orang yang diamanahi tidaklah menanggung." (Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 7518)
Abu Bakar ra. pernah memutuskan tentang wadi'ah yang berada dalam sebuah kantong, lalu hilang karena bolongnya kantong tersebut bahwa ia (orang yang dititipi) tidak menanggungnya. Bahkan Urwah bin Az Zubair pernah meminta dititipkan kepada Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam  harta dari harta milik bani Mush'ab, lalu ternyata harta tersebut tertimpa musibah ketika masih berada di Abu Bakar atau sebagian harta itu, maka Urwah mengutus seseorang untuk memberitahukan, "Bahwa kamu tidak perlu menanggungnya. Kamu hanyalah orang yang diamanahi." Lalu Abu Bakar berkata, "Saya telah mengetahui bahwa saya tidak menanggung, akan tetapi nanti orang-orang Quraisy menyebutkan bahwa diriku sudah tidak amanah", lalu Abu Bakar menjual harta miliknya dan melunasinya.
Penerima titipan harus menjaganya di tempat terjaga yang standar atau sesuai barang tersebut secara 'uruf sebagaimana hartanya dijaga. Jika barang titipan berupa hewan, maka muuda' harus memberinya makan. Jika tidak diberi makan tanpa ada perintah dari pemiliknya, lalu hewan itu mati, maka muuda' harus menggantinya, karena memberi makan hewan adalah diperintahkan. Di samping dia harus menanggungnya, dia juga berdosa karena tidak memberi makan dan minum kepada hewan tersebut hingga mati, karena wajib baginya memberi makan dan minum sebagai pemenuhan terhadap hak Allah Ta'ala, dimana hewan tersebut memiliki kehormatan.

C. Syarat dan Rukun Wadi’ah
A.    Rukun Wadi’ah
Menurut ulama ahli fiqh imam abu hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1.      Orang yang berakad
2.      Barang titipan
3.      Sighah, ijab dan kobul
B.     Syarat
1.      Orang yang berakad
Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak gila) diantaranya yaitu:
a.       Baligh
b.      Berakal
c.       Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang sedang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad wadi’ah ini.
2.      Barang titipan
Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau dikuasai, maksudnya ialah barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat dikuasai untuk dipelihara.
3.      Sighah (akad)
Syarat sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang menitipkan (mudi’) dan orang yang diberi titipan (wadi’)
D.    Macam-macam Wadi’ah
a.       Wadi’ah yad-amanah
Para ulama ahli fiqh mengatakan bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan tetapi, apakah orang yang tanggung jawab memelihara barang itu bersifat ganti rugi (dhamaan=الضمان).
Ulama fikih sepakat, bahwa status wadi’ah bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga semua kerusakan penitipan tidak menjadi tangggung jawab pihak yang menitipi, berbeda sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya adalah sabda Rasulullah:
ليس على المسودع غير المغل ضمان (رواه البيهقى و الدار قطنى)
“orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan ganti rugi.” (HR. Baihaqi dan Daru-Quthni)
Dalam riwayat lain dikatakan:
(قطنيى الداررواه) مؤتمن على لاضمان
“tidak ada ganti rugi terhadap orang yang dipercaya memegang amanat.” (HR. Daru-Quthni”.
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan untuk ganti rugi atas orang yang dititipi maka akad itu dianggap tidak sah. dan orang yang dititipi pun juga harus menjaga amanat dengan baik dan tidak menuntut upah (jasa) dari orang yang menitipkan.
b.      Wadi’ah yad-dhamanah
Akad ini bersifat memberikan kebebasan kepada pihak penerima titipan dengan atau tanpa seizin pemilik barang dapat memanfaatkan barang dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan pada barang yang dinggunakannya.

E.    Hukum Menerima Benda Titipan
Hukum menerima benda titipan dapat di bagati atas 5 yaitu:
1.      Haram: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum haram jika orang yang dititipi yakin dirinya akan berkhiyanat.
2.      Makruh: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum makruh jika orang yang dititipi khawatir akan berkhianat (was-was).
3.      Mubah: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum mubah (boleh) jika seorang mengatakan kepada si penitip bahwa dirinya khawatir akan berkhianat namun si pentitip yakin dan tetap mempercayai bahwa orang tersebut dapat diberikan amanah.
4.      Wajib: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum wajib jika tidak ada orang jujur dan layak selain dirinya.

F.     Wadi’ah yad-Amanah Berubah Menjadi Wadi’ah yad-Dhamanah
Kemungkinan perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dhamanah (ganti rugi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:[9]
1.      Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Dengan demikian halnya apabila ada orang lain yang akan merusaknya, tetapi dia tidak mempertahankannya, sedangkan dia mampu mengatasi (mencegahnya).
2.      Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang titipan  seharusnya dipelihara, bukan dimanfaatkan.
3.      Orang yangdititipi mengingkari ada barang titipan kepadanya. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah disebutkan jenis varangnya dan jumlahnya ataupun sifat-sifat lain, sehingga apabila terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
4.      Orang yang menerima titipan barang itu, mencampuradukkan dengan bangan pribadinyam sehingga sekiranya ada yang rusak atau  hilang, maka sukar untuk menentukannya, apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) atau barnag titipan itu.
5.      Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat penyimpanan dan syarat-syarat lainnya.

G.     Keuntungan (Laba) dalam Wadi’ah
Beberapa ulama berpendapat mengenai pengambilan laba atau bonus dalam wadi’ah, yaitu:
1.      Menurut ulama syafi’iyah, tidak boleh mengambil keuntungan atau bonus yang tidak disyaratkan diawal akad ketika memanfaakan barang yang dititipkan dan akadnya bisa dikatakan gugur.
2.      Menurtu ulama maliki dan hambali dapat menerima bonus yang diberikan oleh orang yang dititipi.
3.      Sedangkan imbalan yang diterima dari bank berupa bunga, maka ulama Hanafiah mengatakan keuntungan tersebut harus disedekahkan, sedangkan menurut ulama maliki keuntungan tersebut harus diserahkan ke baitul mal (kas negara).

H.    Jaminan Wadiah
1.      Menurut ulama malikiyah, sebab adanya jaminan adalah:
a.       Menitipkan barang selain penerimaan titipan (wadi’) tanpa uzur sehingga ketika minta dikembalikan, wadiah sudah hilang
b.      Pemindahan wadi’ah dari negara kenegara lain berbeda dengan pemindahan dari rumah kerumah
c.       Mencampur adukkan eadiah dengan sesuatu yang tidak bisa dibedakan
d.      Pemanfaatan wadiah
e.       Meletakkan titipan pada tempat yang memungkinkan untuk hilang atau rusak.
f.       Menyalahi cara pemeliharaan.
2.      Menurut ulama syafi’iyah sebab adanya jaminna adalah:
a.       Meletakkan wadiah pada orang lain tanpa izin
b.      Meletakkan pada tempat yang tidak aman
c.       Pemindahan ketempat yang tidak aman
d.      Melalaikan kewajiban menjaganya
e.       Berpaling dari menjaga sehingga barang rusak
f.       Memanfaatkan wadiah
3.  Menurut ulama hanabilah, sebab adanya jaminan adalah:
a.       Menitipkan pada orang lain tanpa ada uzur
b.      Melalaikan pemeliharaan barang
c.       Menyalahi pemeliharaan yang telah disepakati
d.      Mencampurkan dengan barang yang lain sehingga sulit untuk dihilangkan
e.      Pemanfaatan barang

I.    Aplikasi alam LKS dan Fatwa DSN
Beberapa aplikasi LKS dan fatwa DSN antara lain sebagai berikut:
1.      Wadiah sering dipraktekkan dan dikembangkan oleh bank syariah
2.      Priduk yang ditawarkan bank syariah menggunakan konsep wadiah biasanya berkaitan dengan penghimpunan dana (found), seperti giro, SWBI, tabungan, Save deposit box (SDB), dan deposito, deposit memakai prinsip mudharabah, sedangkan yang lainnya menggunakan prinsip wadiah.
3.      Wadiah yad-Damanah bisa dikatakan qordul hasan
4.      Giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah, yaitu  murni tidap saat dapat diambil jika di penitip
5.      Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang giro No:01/DSN-MUI/IV/2000
6.      Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang No:02/DSN-MUI/IV/2000
7.      Tabungan wadiah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah.
8.      Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional No:36/DSN-MUI/X/2002
9.      Penghapusan SWBI menjadi Ijarah. Bank Syariah myang menempatkan dana di BI telah berperan mendukung stabilitas moneter, dan diberi upah oleh BI sebesar misalnya 8,78%
10.  Dalam perbankan juga terdapat save deposit box dengna FDSN No:24/DSN-MUI/III/2002

J.   Hikmah Wadi’ah
Dengan berlakunya wadi’ah dalam masyarakat bisa mewujudkan keadaan berikut:
ü  Mewujudkan masyarakat yang amanah karena wadi’ah mengajarkan seseorang agar dapat menjalankan amanah.
ü  Tercipta tali silaturrahmi, karena yang memberi amanah merasa terbantu dan yang diberi amanah akan mendapat pahala dari perbuatannya tersebut yang bernilai ibadah. Tolong menolong dalam hal ini sangat disenangi Allah.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah diketahui definisi wadi’ah dari beberapa ulama’, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud wadi’ah adalah penitipan, yaiti akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.[10]
Orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik dan mengandung nilai ibadah yang mendapat pahala disamping mempunyai nilai sosial yang tinggi. Hukum wadi’ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu : Sunnah, wajib, haram, dan makruh. Penerima titipan harus menjaganya di tempat terjaga yang standar atau sesuai barang tersebut secara 'uruf sebagaimana hartanya dijaga.
Dengan berlakunya wadi’ah dalam masyarakat bisa mewujudkan keadaan berikut: Mewujudkan masyarakat yang amanah karena wadi’ah mengajarkan seseorang agar dapat menjalankan amanah.
Tercipta tali silaturrahmi, karena yang memberi amanah merasa terbantu dan yang diberi amanah akan mendapat pahala dari perbuatannya tersebut yang bernilai ibadah. Tolong menolong dalam hal ini sangat disenangi Allah.







DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syari’ah. Jakarta: Gema Insani. 2001.
Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syari’ah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008.
Madani, Hadis Ekonomi Syari’ah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2011.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2002.
Ali M. Hasan. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh mu’amalat). Jakarta: Rajawali Pers. 2003.
Ghazaly Rahman Abdul, dkk. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana. 2010.
Muslich Wardi Ahmad. Fiqh Muamalat. Jakarta : Amzah. 2010.
Nas’adi dan Ghufron. Fiqih Muamalat Kontekstual. Jakarta: Rajawali Pers. 2002.
Nuhayati Sri, Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. 2008.



[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo, 2002), hal. 179
[2] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah, ( Jakarta: Gema Insani, 2001), hal.85
[3] Madani, Hadis Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2011), hal.85
[4] M. Ali Hasan. Berbagai macam transaksi dalam islam (fiqh muamalat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2003). hlm. 245-246
[5] Suhendi, Fiqih…, hal. 182
[6] Madani, Hadis …, hal. 85
[7] Suhendi, Fiqih…, hal. 183
[8] Ibid, hal. 182
[9] Hasan, Berbagai …, hlm. 249-250
[10] Suhendi, Fiqh…, hal. 182

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post